Mama sering resah dengan kenaikan harga pangan yang terus melejit dari waktu ke waktu, namun tidak paham apa yang terjadi? Yuk, mulai pahami faktor yang menyebabkan kenaikan harga tersebut agar menjadi warga yang lebih peka terhadap kondisi sosial.
Tren kenaikan bahan pangan pada saat-saat tertentu umum terjadi di Indonesia. Biasanya pada hari raya harganya melambung tinggi. Hal inilah yang biasanya dikeluhkan para Mama. Harga beras hingga harga bawang yang naik pastinya bikin pusing mengelola keuangan, bukan? Untuk menjadi rakyat yang melek, yuk pahami bersama 5 faktor yang mempengaruhi kenaikan harga sembako menurut Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan RI.
Harga naik karena permintaan meningkat
Pada saat hari raya kenaikan permintaan kebutuhan pokok meningkat. Biasanya harga ayam, daging, hingga beras mengalami lonjakan paling tinggi. Karena ketiga hal tersebut paling laris diburu saat menjelang hari raya.
Misalnya saat Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Indonesia akan memasak opor ayam atau daging. Sehingga tren banyak keluarga akan membeli daging atau ayam. Tingginya permintaan tersebut signifikan untuk menaikkan harga sembako. Tapi, terkadang juga dipicu pedagang ‘nakal’ yang tidak mau kehilangan momen dengan menaikkan harga sembako demi meraup keuntungan berlimpah.
Adanya kartel bahan pokok
Ketahanan pangan yang tidak kuat pada suatu negara akan membuat adanya kartel bahan pokok. Menurut CNBC Indonesia, hanya 6% bahan pokok yang dikuasai Bulog, 94% sisanya dikuasai kartel. Mafia pangan ini memegang kendali terhadap harga bahan pangan di Indonesia.
Pada perhitungan tingkat kemiskinan yang dilakukan oleh BPS, komoditas beras memberi pengaruh yang paling besar terhadap kehidupan masyarakat, yakni 19,54% di perkotaan dan 25,51% di pedesaan. Artinya jika harga beras naik, akan ada banyak penduduk yang kemungkinan besar menyandang status miskin. Sayangnya, pertumbuhan produksi padi sepanjang periode 2015-2018 mengalami penurunan ketimbang peningkatan, sehingga tidak ada penurunan jumlah masyarakat miskin.
Nah, data ini bertolak belakang dengan data Kementerian Pertanian, yang melaporkan adanya pertumbuhan produksi padi sejak 2015-2018. Kesimpang-siuran data ini adalah hal yang wajar, sebab mafia memiliki andil di dalamnya.
Rantai distribusi yang panjang
Institutue for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan bahwa rantai distribusi komoditas beras yang terlalu panjang akan berdampak pada lonjakan harga, hingga dua sampai tiga kali lipat di tingkat konsumen dibandingkan harga di level petani.
Misalnya pada kasus beras, bahan pokok ini harus melalui 4-6 titik distribusi, sebelum akhirnya sampai ke konsumen. Dijelaskan bahwa setelah dari petani, beras dijual ke tengkulak, lalu dibawa ke pedagang grosir berskala besar barulah menuju pedagang grosir kecil dan didistribusikan pada konsumen. Alur tersebut membuat beras memiliki harga yang mahal.
Faktor iklim
Kondisi iklim yang tak menentu saat ini membuat para petani kewalahan. Waktu panen mereka menjadi tak jelas karena cuaca yang berubah-ubah. Kadang-kadang hujan berkepanjangan atau kemarau berkepanjangan mengganggu komoditas pertanian. Akibat dari faktor ini adalah kelangkaan bahan pokok. Tentunya kelangkaan dapat menyebabkan harga sembako naik drastis.
Nilai rata-rata tukar rupiah
Kenaikan tukar mata uang ternyata turut mempengaruhi kenaikan harga bahan pangan. Contohnya pada data Kontan bulan Juli 2018 lalu nilai tukar Rupiah di angka Rp14.414, nilai tukar tersebut melonjak 0,41% dari sebelumnya, dan merupakan angka inflasi tertinggi sepanjang Januari hingga Oktober 2018. Adanya inflasi tersebut menaikkan harga pangan dan makanan hingga 100% pada lebaran, natal dan tahun baru 2018.
Baca Juga : 5 Langkah Menghemat Gas Elpiji di Rumah