Beberapa hari belakangan sedang ramai-ramai pembahasan soal RUU Omnibus Law ke DPR RI. Mungkin banyak dari kita yang binggung soal isu hangat ini. Padahal, isu tersebut sangat dekat sekali dengan golongan pekerja, baik dari tim produksi hingga tim manajemen perusahaan. Nah, agar menjadi lebih paham mengenai Omnibus Law, berikut pembahasan singkatnya.
Banyaknya kajian mengenai Omnibus Law sebenarnya menunjukan hal yang baik, yakni mulai banyaknya perhatian mengenai nasib kelas pekerja di mata negara. Namun sejauh ini perdebatan mengenai isu ini masih belum dimengerti oleh kelas pekerja sendiri.
Buktinya perdebatan yang muncul masih dibahas dengan pembawaan yang terlalu berat dengan bahasa tingkat tinggi. Padahal, orang yang terkena dampak dari Omnibus Law adalah pekerja kelas menengah ke bawah. Isu ini sangat penting untuk dibicarakan semua kelas pekerja, termasuk buruh-buruh pabrik industri. Sebagai generasi yang tanggap terhadap problem-problem sosial, kita juga memiliki tanggung jawab untuk mengetahui mengenai RUU ini.
RUU ini merupakan aturan baru yang sengaja dibuat untuk menggantikan aturan-aturan yang ada sebelumnya. Aturan ini dibuat untuk menjadi satu-satunya rujukan dan berposisi lebih tinggi dibandingkan undang-undang sebelumnya. Hal inilah mengapa banyak orang yang merespon mengenai isi dari Omnibus Law, bagaimana tidak, lha wong UU ini berposisi sangat kuat, bahkan mungkin namanya layak diganti dengan UU ‘sapu jagad’, karena saking serba bisanya.
Menurut pemerintah, aturan ini ada karena peraturan sebelumnya dianggap terlalu kaku dan menghambat kedatangan investor. Namun hingga saat ini pembicaraan mengenai Omnibus Law masih menimbulkan pro dan kontra. Hal ini terjadi karena ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan akibat adanya RUU Omnibus Law. Penting untuk memahami bahwa Omnibus Law ini tidak hanya hitam dan putih, atau keseluruhan jelek dan keseluruhan baik. Ada sisi baiknya dan buruknya sendiri-sendiri.
Omnibus Law merugikan atau menguntungkan?
Bagi pekerja, peraturan ini merugikan, karena banyak hak buruh yang tercerabut. Misalnya, mudahnya PHK, dihapuskannya cuti-cuti penting; seperti cuti melahirkan, jumlah pesangon yang turun, diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak begitu saja, sampai tidak leluasa untuk berserikat karena merasa harus terus menerus bekerja agar mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan. Hal lain yang membuat pekerja keberatan dengan aturan ini adalah perubahan upah menjadi per jam yang membuat pekerja dilihat sebagai mesin produksi.
Sementara bagi pengusaha dan investor, aturan ini menguntungkan, karena perusahaan tidak harus menanggung risiko dari apa yang ditakutkan oleh para pekerja. Dengan adanya peraturan ini akan lebih banyak investor yang masuk ke Indonesia, karena biaya upah yang rendah dan aturan yang mudah. Contohnya, jika ingin mendirikan perusahaan, Omnibus Law tidak mengharuskan adanya AMDAL, dan hanya assesment saja. Kekurangan lain dari salah satu poin ini adalah kerusakan lingkungan yang semakin tidak bisa dicegah.
Beberapa pakar ekonomi berpendapat, jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, kita bisa melakukannya tanpa harus mengesahkan Omnibus Law. Karena jika melihat dari fakta lapangan, peningkatan sektor industri itu tidak selalu sebanding dengan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari tren data yang ditunjukan oleh BKPM pada 2018, di mana nilai investasi lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, penyerapan tenaga kerja hanya 0,8 juta tenaga kerja saja. Padahal di tahun-tahun sebelumnya selalu mencapai angka satu juta.
Menurut Faisal Basri, seorang politisi sekaligus akademisi ekonomi dari universitas Indonesia, cara untuk membuat ekonomi Indonesia makin maju bukanlah dengan Omnibus Law, namun membenahi regulasi dan melakukan pengelolaan keuangan negara secara lebih ketat.
Nah, berdasarkan ulasan di atas, Mama Papa condong ke arah mana? Tim setuju atau tidak setuju?
Baca Juga : Bikin Pos Keuangan, Car Efektif Mengelola Penghasilan