Coba diingat-ingat, selama ini kalau si bestie lagi sedih atau ada masalah, kamu lebih sering nanggepin dengan ucapan-ucapan penyemangat atau mendengarkannya dulu? Jangan sampai ucapan penyemangatmu itu termasuk toxic positivity, ya.
“Be positive, lah. Jangan menyerah” atau “Tenang aja, semua pasti berlalu jangan gitu”. Sering mengucapkan dua kalimat itu ke sahabatmu? Atau mungkin kepada teman-temanmu yang punya masalah? Meskipun terlihat sederhana, namun ini termasuk toxic positivity, lho.
Apa Itu Toxic Positivity?
Istilah toxic positivity muncul saat kamu selalu memberikan ucapan “penyemangat” pada sahabatmu yang sedang ada masalah dan membuat mereka mengabaikan emosi negatif. Contoh paling simpel ketika kamu memberikan semangat untuk jangan menyerah atau memintanya bersyukur, hingga membandingkan masalahnya dengan hal-hal yang mungkin lebih berat.
Bahkan, yang paling disayangkan, kamu bisa sampai tidak peduli dengan apa yang mereka rasakan dan berfokus untuk menyuruhnya “positif”. Bukannya baik, namun hal tersebut justru merusak kesehatan mental, lho. Mengapa? Karena, kebiasaan ini akan membuat diri sendiri tidak belajar mengenal dan memahami emosi negatif, namun hanya berfokus pada hal positif. Padahal, siapa saja punya emosi negatif dan positif, bukan?
Memang, ini bagus untuk dilakukan. Hanya saja, ternyata tidak semua orang dapat menerima hal ini. Ya, meskipun ini memiliki makna atau niat yang baik, namun terkadang ada beberapa kata penyemangat yang kamu berikan ternyata berdampak negatif pada diri mereka dalam jangka panjang.
Baca Juga: Sembuhkan Luka Batinmu dengan 7 Metode Self Healing Ini
Dampak Negatif Tenggelam dalam Toxic Positivity
Nah, kalau toxic positivity ini diteruskan, nantinya akan memunculkan berbagai dampak buruk di masa mendatang. Beberapa contohnya seperti:
Memilih untuk memendamnya
Orang yang terpapar toxic positivity biasanya akan memilih memendam semua yang dirasakan. Mereka merasa tidak nyaman mengekspresikan apa yang dirasakan karena respon yang didapatkannya.
Padahal, bisa saja mereka memiliki masalah yang cukup berat dan memerlukan bantuan. Bahkan, ada kalanya mereka membutuhkan bantuan ahli. Namun karena keharusan untuk berpikir positif, mereka jadi merasa tidak ada masalah tanpa menyadari kondisinya semakin parah.
Sulit menggambarkan perasaannya
Dampak negatif lainnya mereka jadi sulit menggambarkan perasaan negatif pada dirinya. Dengan kata lain, mereka tidak bisa mengeluarkan rasa marah atau kesal. Nah, hal tersebut yang akan menyebabkan mereka tidak dapat mengukur ada tidaknya masalah yang menimpanya dan menganggap semua baik-baik saja.
Selalu menghindari emosi negatif
Dampak negatif toxic positivity berikutnya selalu menghindari emosi negatif. Padahal, seperti dikutip dalam Halodoc, perasaan-perasaan tersebut merupakan salah satu tanda adanya bahaya yang dihasilkan otak. Kalau ini terus berlanjut, nantinya dapat menyebabkan diri sendiri terus menganggap masalah yang dialami akan terlewati dengan sendirinya.
Lalu, Apa yang Harus Dilakukan?
Kamu mungkin menjadi merasa serba salah dan tidak tahu apa yang harus kamu lakukan. Sebenarnya, di sini kamu harus pandai membaca situasi. Mana yang memang bisa kamu berikan semangat, mana yang tidak.
Karena, ada kalanya orang hanya membutuhkan didengarkan orang lain. Maka dari itu, kamu memang disarankan untuk lebih mendengarkan masalahnya. Dengan begitu, kesehatan mentalnya akan lebih terjaga.
Baca Juga: Mengenal Cabin Fever dan Cara Mengatasinya