Tanggal 21 April di Indonesia selalu identik dengan pawai kebaya atau lomba-lomba memasak. Kita justru semakin jauh dengan pemaknaan perjuangan Kartini yang sebenarnya. Bertepatan Hari Kartini, mari sama-sama memaknai perjuangan RA. Kartini untuk perempuan.
Setiap 21 April sebagian masyarakat Indonesia akan berbondong-bondong memeriahkan Hari Kartini. Biasanya peringatan ini dirayakan dengan lomba memasak, aneka pawai hingga fashion show menggunakan kebaya. Hari Kartini dimaknai sebagai euforia perayaan dan terkadang kita kehilangan makna perjuangan RA. Kartini yang sebenarnya.
Setiap kalangan memiliki pemaknaan tersendiri mengenai perjuangan Kartini. Satu hal yang jelas sama, Kartini memperjuangkan agar kaum perempuan untuk mendapatkan kesempatan berkontribusi di berbagai bidang sebagaimana halnya laki-laki.
Perjuangan Pendidikan untuk Perempuan
Pemerintah Hindia Belanda di masa Kartini hidup membatasi akses pendidikan bagi masyarakat pribumi. Tujuannya sudah jelas pemerintah Hindia Belanda tidak menginginkan masyarakat pribumi semakin terdidik dan gencar melakukan perlawanan. Pendidikan untuk pihak laki-laki saja hanya dibatasi oleh keluarga ningrat, sedangkan perempuan sama sekali tidak memiliki akses untuk terdidik.
Kartini melalui surat-suratnya mengkritisi hal tersebut. Dalam sebuah suratnya kepada Prof dan Ny. Anton pada tanggal 4 Oktober 1902, Kartini mengatakan; “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: Menjadi Ibu, pendidik manusia pertama”.
Melalui penggalan surat tersebut kita bisa memaknai Hari Kartini dengan bersyukur atas tercapainya cita-cita perempuan berpendidikan. Menjadi seorang yang berpendidikan tidak serta-merta menempatkan kita untuk menyaingi laki-laki. Seorang perempuan yang terdidik dapat membawa generasi ke arah yang lebih baik.
Jika seorang perempuan berpendidikan tinggi, ia akan melakukan tanggung jawabnya sebagai manusia, ibu dan istri dengan penuh perhitungan. Nah, apabila banyak orang yang bertanya alasan kita berpendidikan tinggi jika ujungnya menjadi ibu rumah tangga seharusnya tidak perlu dipusingkan. Karena fungsi menjadi manusia terdidik adalah mendidik, salah satunya mendidik anak-anak di rumah.
Tentang berbagi peran
Hari Kartini bisa dimaknai sebagai sebuah momen yang mengenalkan kita tentang berbagi peran. Jelas tidak semua hal dalam hidup ini bisa ditangani sendiri. Karena itu, entah bagaimana bentuk dan jenis lingkunganmu, berbagi peran antara laki-laki dan perempuan merupakan keniscayaan. Berbagai peran ini dalam berbagai tempat baik di dalam rumah tangga maupun di masyarakat.
Dalam sebuah proses membangun rumah tangga misalnya, permasalahan mendidik anak tidak hanya milik perempuan. Laki-laki memiliki andil untuk mengambil peran. Buah hati kita butuh kehadiran seorang ayah dalam berbagai pertumbuhannya. Meskipun tidak intens, perkara pertumbuhan anak harus didiskusikan berdua antara suami istri.
Sedangkan bagi perempuan-perempuan yang bekerja, kebebasan menjalankan peran adalah cita-cita yang digaungkan Kartini. Dahulu perempuan-perempuan pada lingkungan Kartini hanya memiliki peran domestik atau hal-hal yang berbau rumah. Kartini mengharapkan perempuan dapat berkontribusi di luar ranah domestik. Untuk itu, kemudahan-kemudahan yang kita terima layaknya kita manfaatkan sebaik-baiknya. Contoh nyata yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi adalah menjalankan peran sebaik-baiknya.
Artikel Lainnya: Memaknai Social Distancing dari Filosofi Hari Raya Nyepi